Suara ramai anak-anak tengah bermain di sebelah rumah
terdengar begitu renyah, yang menandakan bahwa mereka sangat menikmatinya.
Menikmati masa-masa tumbuh kembang, belajar, bermain, dan berinteraksi. Konon,
masa-masa itu lah yang cukup berpengaruh membentuk karakter dan kecakapan anak
dalam berinteraksi. Aku pun pernah ada pada posisi itu, menyenangkan jika
diingat-ingat. Tetapi, apakah memang benar aku menikmati masa-masa itu? Apakah
benar aku ada pada tahapan tersebut, dimana aku bermain dan belajar bersama
mereka teman-teman kecilku? Boleh jadi. Entahlah.
Tetapi, aku juga berpikir permainan dan interaksi macam apa
yang aku lakukan dulu sehingga membentuk karakterku seperti sekarang? Ataukah
karakterku yang pemalas dan pengecut ini dibentuk oleh hal-hal lain diluar
interaksiku dengan teman-teman? Apakah aku mendapat pengaruh buruk dari
tontonan media semasa kecil?
Dalam hal kesetiaan dan tanggung jawab menjaga amanah saja
aku tak bisa. Aku mudah sekali tergiur dengan hal-hal baru yang terlihat wah.
Atau jika tidak seperti itu, aku merasa lemah dan tidak pantas ada pada posisi
tersebut, atau juga terkadang takut dikhianati. Perasaan-perasaan negatif
tersebut seringkali berkelebat di dalam pikiranku sehingga mempengaruhiku
melakukan dan mengambil keputusan yang tidak tepat.
Mungkin saja hal hal payah dalam diriku terbentuk dan mengkristal akibat dari miskinnya ilmu dan bacaan. Banyak buku yang ku koleksi tak benar-benar banyak yang aku baca atau ku ingat isinya. Entah, apakah otakku kurang nutrisi atau bagaimana. Entah apakah otakku menjadi tumpul karena jarang terasah. Padahal itu persoalan sepele, tak terselesaikan juga dari dulu. Seharusnya jika aku memang punya pikiran seperti itu, semisal otakku tumpul gara-gara kurang asupan nutrisi, tingga perbanyak saja makanan-makanan yang bergizi dan bagus bagi kesehatan tubuh dan otak. Sementara jika diakibatkan oleh sedikitnya belaja dan membaca, tingga menambah porsi untuk membaca saja?
Lantas aku teringat syair berisikan keluh kesah imam ghazali
kepada gurunya ihwal buruknya hafalan yang dimilikinya? Sang guru kemudian
membimbingnya untuk tidak lagi mendekati hal-hal durhaka kepada Allah Swt.
Menurt sang guru, ilmu itu adalah cahaya. Dan sudah barang tentu pancaran
cahaya yang dianugerahkan Tuhan tersebut sampai kapanpun tidak akan mengarahkan
manusia pada keburukan dan hal-hal durhaka kepada-Nya.
Apakah otakku menjadi tumpul, ingatanku menjadi lemah,
karena terkikis oleh dosa-dosa yang ku perbuat? Lagi-lagi secara logis, mudah
untuk menjawab pertanyaan ini; tinggalkan semua hal-hal yang membuatmu berbuat
dosa. Pertanyaan yang tepat sebenarnya adalah, apa aku mau melakukannya,
meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat dan durhaka kepada-Nya, sementara hal
itu adalah hal-hal yang terasa nikmat? Jawabnya, aku terlalu lemah, tak peka,
tak bisa merasakan nikmat-nikmat Tuhan yang selama ini telah Ia berikan.
Maafkan aku Tuhan.
Comments
Post a Comment